Dalam Interpretation of Cultures, Geertz menguraikan makna di balik sistem simbol suatu kebudayaan. Antropolog Amerika yang sekaligus seorang Indonesianis yang di tanah air populer melalui karya etnografisnya, The Religion of Java, menggarisbawahi bahwa sistem simbol itu sendiri merefleksikan makna kebudayaan sebuah masyarakat. « Orang Jawa memiliki empat pusaka wajib berdapur lurus. Pusaka keris itu adalah Brojol, Tilam Sari, Tilam Upih, dan Jalak Sangu Tumpeng, » ujar pria asli Wonogiri, Jawa Tengah, itu.
Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika.
Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ), perak, emas. Untuk daerah di luar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Keris senantiasa ada dalam setiap upacara adat dan spiritual yang bersifat sakral. Sebagai salah satu pusaka masyarakat Jawa, keris memiliki filosofi mendalam. Menurut Sulistiono, ada empat simbol bilah keris yang harus diketahui bahkan wajib dimiliki orang Jawa, terutama generasi muda. Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja (« penopang »), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.
Mengutip dari buku Keris dalam Perspektif Keilmuan (2011) oleh Waluyo Wijayatno dan Unggul Sudrajat, keris dibuat dari bahan dasar besi, baja, serta bahan pamor. Tetapi jika, keris memiliki ornamental atau racikan yang berbeda, maka akan berbeda pula nama dhopurnya. Keris mencerminkan hubungan manusia dengan penciptanya, sehingga keris menjadi sarana berkebutuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Keris mencerminkan simbol kedewasaan dan rasa tanggungjawab, oleh karena itu memiliki keris harus siap menjadi manusia yang dewasa yang penuh rasa tanggung jawab. Keris mencerminkan simbol kehormatan dan kemerdekaan, dengan cara merawat keris pusaka seseorang akan menjaga tutur kata dan perilakunya demi kemuliaan dan kehormatannya. Keris mencerminkan simbol strata sosial dan identitas etnik, oleh karena itu setiap suku di Indonesia memiliki corak dan gaya keris yang berbeda-beda.
Setidaknya setiap tahun di keraton Yogyakarta dan Surakarta selalu dilakukan upacara dan ritual kirab pusaka keliling benteng. Keris memiliki bentuk yang sangat khas sehingga mudah dibedakan dari pusaka lainnya. Selain itu, keris juga berbentuk tidak simetris karena bilahnya berkelok-kelok dan memiliki serat lapisan logam cerah pada helai bilah. TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Keris yang merupakan benda pusaka warisan nenek moyang yang melegenda, khususnya di Jawa, memiliki nilai budaya yang melekat dalam filosofi kehidupan. Masih merujuk deskripsi UNESCO, disebutkan bahwa nilai estetika sebilah keris ialah mencakup dhapur, pamor, dan tangguh. Keris telah mengukir jejaknya dalam sejarah Indonesia selama berabad-abad.